A. Pengertian Ibadah
Ibadah (عبادة) secara etimologi berarti
merendahkan diri serta tunduk. Ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna
dan maksudnya satu. Definisi ibadah itu antara lain;
1. Ibadah ialah taat kepada Allah
dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya yang ditetapkan melalui para
Rasul-Nya,
2. Ibadah adalah merendahkan diri kepada
Allah, yaitu tingkatan ketundukan yang paling tinggi disertai dengan rasa
mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi pula.
3. Ibadah ialah sebutan yang mencakup
seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa ucapan atau
perbuatan, yang dzahir maupun bathin.
Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf
(takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan),
raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan
dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah
qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang
berkaitan dengan hati, lisan dan badan.
Maka Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia, Allah SWT berfirman;
“Dan
Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku
tidak menghendaki rizki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya
mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah, Dia-lah Maha Pemberi rizki yang
mempunyai kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS.
Adz-Dzariyat: 56-58)
Allah memberitahukan, tujuan penciptaan jin dan manusia adalah agar
mereka melaksanakan ibadah kepada Allah. Dan Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan
ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya. Karena
ketergantungan mereka kepada Allah, maka mereka menyembah-Nya sesuai dengan
aturanNya.
Adapun definisi ibadah dalam bahasa Arab berarti kehinaan atau ketundukan. Dalam terminology, ibadah diartikan sebagai sesuatu yang diperintahkan
AllahSWT, bukan karena adanya keberlangsungan tradisi sebelumnya, juga bukan karena
tuntutan logika, atau akal manusia. Maka, ruang lingkup ibadah adalah seluruh aktifitas manusia yang diniatkan semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT.
B. Hakikat Ibadah
Tujuan diciptakannya manusia di
mukabumi ini yaituuntukberibadah kepada-Nya. Ibadah dalam pengertian yang
komprehensif menurut Syaikh Al-Islam IbnuTaimiyah adalah sebuah nama yang
mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai oleh Allah SWT berupa perkataan
atau perbuatan baik amalan batin ataupun yang zhahir (nyata).
Adapunhakekatibadahyaitu:
1. Ibadah adalah tujuan hidup
kita.
2. Hakikat ibadah itu adalah melaksanakan apa yang Allah cintai dan ridhai
dengan penuh ketundukan dan kerendahan diri kepadaNya.
3. Ibadah akan terwujud dengan
cara melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya
4. Cinta, maksudnya cinta kepada
Allah dan Rasul-Nya yang mengandung makna mendahulukan
kehendak Allah dan Rasul-Nya atas yang lainnya. Adapun tanda-tandanya: mengikuti sunahRasulullah saw.
5. Jihad di jalan Allah (berusaha sekuat tenaga untuk meraih segalasesuatu yang dicintai
Allah).
6. Takut, maksudnya tidak merasakan sedikitpun ketakutan kepada segala bentuk dan jenis makhluk melebihi ketakutannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian orang yang benar-benar mengerti kehidupan adalah yang
mengisi waktunya dengan berbagai macam bentuk ketaatan; baik dengan
melaksanakan perintah maupun menjauhi larangan. Sebab dengan cara itulah tujuan
hidupnya akan terwujud.
1. Tidak Syirik. Seorang hamba
yang sudah berketetapan hati untuk senantiasa beribadah menyembah
kepada Nya, maka ia harus meninggalkan segala bentuk syirik. Ia telah
mengetahui segala sifat-sifat yang dimiliki Nya adalah lebih besar dari segala
yang ada, sehingga tidak ada wujud lain yang dapat mengungguli-Nya.
2. Memiliki ketakwaan. Ketakwaan yang
dilandasi cinta timbul karena ibadah yang dilakukan manusia setelah merasakan
kemurahan dan keindahan Allah SWT. Setelah manusia melihat kemurahan dan
keindahan Nya munculah dorongan untuk beribadah kepada Nya. Sedangkan ketakwaan
yang dilandasi rasa takut timbul karena manusia menjalankan ibadah dianggap
sebagai suatu kewajiban bukan sebagai kebutuhan. Ketika manusia menjalankan
ibadah sebagai suatu kewajiban adakalanya muncul ketidak ikhlasan, terpaksa dan
ketakutan akan balasan dari pelanggaran karena tidak menjalankankewajiban.
3. Terhindar dari kemaksiatan. Ibadah memiliki daya pensucian yang kuat sehingga dapat menjadi tameng dari
pengaruh kemaksiatan, tetapi keadaan ini hanya bisa dikuasai jika ibadah yang
dilakukan berkualitas. Ibadah ibarat sebuah baju yang harus selaludipakai
dimanapun manusia berada.
4. Berjiwa sosial, ibadah menjadikan seorang hamba
menjadi lebih peka dengan keadaan lingkungan disekitarnya, karena dia mendapat
pengalaman langsung dari ibadah yang dikerjakannya. Sebagaimana ketika
melakukan ibadah puasa, ia merasakan rasanya lapar yang biasa dirasakan
orang-orang yang kekurangan. Sehingga mendorong hamba tersebut lebih
memperhatikan orang lain.
5. Tidak kikir. Harta yang
dimiliki manusia pada dasarnya bukan miliknya tetapi milik Allah SWT yang
seharusnya diperuntukan untuk kemaslahatan umat. Tetapi karena kecintaan
manusia yang begita besar terhadap keduniawian menjadikan dia lupa dan kikir
akan hartanya. Berbeda dengan hamba yang mencintai Allah SWT, senantiasa dawam menafkahkan
hartanya di jalan Allah SWT, ia menyadari bahwa miliknya adalah bukan haknya
tetapi ia hanya memanfaatkan untuk keperluanya semata-mata sebagai bekal di
akhirat yang diwujudkan dalam bentuk pengorbanan hartauntuk keperluan umat.
D. IBADAH MAHDHAH & GHAIRU MAHDHAH
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam
Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara
satu dengan lainnya;
1. ‘Ibadah Mahdhah,
(ibadah Khas) artinya penghambaan
yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung.
‘Ibadah bentuk ini memiliki 4 prinsip:
a. Keberadaannya harus berdasarkan adanya
dalil perintah, baik
dari al-Quran maupun al- Sunnah al-Maqbulah, jadi merupakan otoritas wahyu,
tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
b. Tatacaranya harus berpola kepada contoh
Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh
Allah adalah untuk memberi contoh:
Dan Kami
tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 4: 64).
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah,
maka tata caranya, Nabi bersabda: Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari
padaku tata cara haji kamu
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa
dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan
“Muhdatsatul umur” perkara meng-ada-ada, yang populer disebut bid’ah:
Sabda Nabi saw.:
Salah satu penyebab hancurnya
agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya
menyalahi perintah Rasul-rasul mereka:
c. Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal), artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia dibaliknya yang disebut hikmah’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
d. Azasnya “taat”, yang
dituntut dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Maka
wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk
kepentingan dan kebahagiaan, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama
diutus Rasul adalah untuk dipatuhi: Jenis
ibadah yang termasuk mahdhah, adalah : Wudhu, Tayammum, Mandi hadats, Adzan,
Iqamat, Shalat, Membaca al-Quran, I’tikaf, Puasa, Haji dan Umrah, Mengurus Janazah
2. Ibadah
Ghairu Mahdhah,
(ibadah
‘Am) (tidak murni semata hubungan dengan Allah) yaitu ibadah yang di
samping sebagai hubungan hamba dengan Allah juga merupakan hubungan atau
interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya. Prinsip-prinsip dalam
ibadah ini, ada 4:
a. Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya
dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak
melarang maka ibadah bentuk ini boleh diseleng garakan.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk umum ini tidak dikenal istilah “bid’ah”.
b. Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk umum ini tidak dikenal istilah “bid’ah”.
c. Bersifat rasional,
ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya,
dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika
sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
d. Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama
itu boleh dilakukan.
E. Fungsi Ibadah
Setiap muslim tidak hanya dituntut untuk beriman, tetapi juga dituntut
untuk beramal sholeh. Karena Islam adalah agama amal, bukan hanya keyakinan. Ia
tidak hanya terpaku pada keimanan semata, melainkan juga pada amal perbuatan
yang nyata. Islam adalah agama yang dinamis dan menyeluruh. Dalam Islam,
Keimanan harus diwujudkan dalam bentuk amal yang nyata, yaitu amal sholeh yang
dilakukan karena Allah. Ibadah dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk
mewujudkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga untuk
mewujudkan hubungan antar sesama manusia. Islam mendorong manusia untuk
beribadah kepada Allah SWT dalam semua aspek kehidupan dan aktifitas. Baik
sebagai pribadi maupun sebagai bagian dari masyarakat. Ada tiga aspek fungsi
ibadah dalam Islam yaitu;
1. Mewujudkan hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
Mewujudkan
hubungan antara manusia dengan Tuhannya dapat dilakukan melalui “muqarabah” dan “khudlu”. Orang yang beriman dirinya akan selalu merasa diawasi oleh
Allah. Ia akan selalu berupaya menyesuaikan segala perilakunya dengan ketentuan
Allah SWT. Dengan sikap itu seseorang muslim tidak akan melupakan kewajibannya
untuk beribadah, bertaubat, serta menyandarkan segala kebutuhannya pada
pertolongan Allah SWT. Demikianlah ikrar seorang muslim seperti tertera dalam
Al-Qur’an surat Al-Fatihah ayat 5
“Hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan
hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.”
Atas landasan
itulah manusia akan terbebas dari penghambaan terhadap manusia, harta benda dan
hawa nafsu.
2. Mendidik mental dan menjadikan manusia
ingat akan kewajibannya
Dengan sikap
ini, setiap manusia tidak akan lupa bahwa dia adalah anggota masyarakat yang
mempunyai hak dan kewajiban untuk menerima dan memberi nasihat. Oleh karena
itu, banyak ayat Al-Qur'an ketika berbicara tentang fungsi ibadah menyebutkan
juga dampaknya terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat. Contohnya: Ketika Al-Qur'an
berbicara tentang shalat, ia menjelaskan fungsinya:
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al
Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-
perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah
lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui
apa yang kamu kerjakan.” QS. Al-ankabut 45
Ketika Al-Qur'an berbicara tentang zakat, Al-Qur'an juga menjelaskan
fungsinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah
untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi
mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”QS. Attaubah 103)
Zakat berfungsi untuk membersihkan mereka yang berzakat dari kekikiran dan
kecintaan yang berlebih-lebihan terhadap harta benda. Sifat kikir adalah sifat
buruk yang anti kemanusiaan. Orang kikir tidak akan disukai masyarakat zakat
juga akan menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati pemberinya dan
memperkembangkan harta benda mereka. Orang yang mengeluarkan zakat hatinya akan
tentram karena ia akan dicintai masyarakat. Dan masih banyak ibadah-ibadah lain
yang tujuannya tidak hanya baik bagi diri pelakunya tetapi juga membawa dapak
sosial yang baik bagi masyarakatnya. Karena itu Allah tidak akan menerima semua
bentuk ibadah, kecuali ibadah tersebut membawa kebaikan bagi dirinya dan orang
lain. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda:
“Barangsiapa
yang shalatnya tidak mencegah dirinya dari perbuatan keji dan munkar, maka dia
hanya akan bertambah jauh dari Allah” (HR. Thabrani)
3. Melatih diri untuk berdisiplin
Adalah suatu
kenyataan bahwa segala bentuk ibadah menuntut kita untuk berdisiplin. Kenyataan
itu dapat dilihat dengan jelas dalam pelaksanaan shalat, mulai dari wudhu,
ketentuan waktunya, berdiri, ruku, sujud dan aturan-aturan lainnya, mengajarkan
kita untuk berdisiplin. Apabila kita menganiaya sesama muslim, menyakiti
manusia baik dengan perkataan maupun perbuatan, tidak mau membantu kesulitan
sesama manusia, menumpuk harta dan tidak menyalurkannya kepada yang berhak.
Tidak mau melakukan “amar ma'ruf nahi
munkar”, maka ibadahnya tidak bermanfaat dan tidak bisa menyelamatkannya
dari siksa Allah SWT.
F. Syarat-Syarat
Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah
perkara taufiqiyyah, yaitu tidak ada suatu ibadah yang disyari’atkan
kecuali berdasarkan al-Qur’an dan as Sunnah. Apa yang tidak
disyari’atkan berarti bid’ah mardûdah (bid’ah yang ditolak ),
hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW.
“ Barangsiapa
yang beramal tanpa adanya tuntutan dari Kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Ibadah-ibadah
itu bersangkut penerimaannya kepada dua faktor yang penting, yang menjadi
syarat bagi diterimanya. Syarat-syarat diterimanya suatu amal (ibadah) ada dua
macam yaitu[5]:
1. Ikhlas
“Katakanlah:
“Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama. Dan aku diperintahkan supaya
menjadi orang yang pertama-tama berserah diri”. Katakanlah: “Sesungguhnya aku
takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku”.
Katakanlah: “Hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku”. (QS az-Zumar/39 : 11-14).
2. Ittiba’
Rasul. Dilakukan secara sah yang sesuai
dengan tuntunan Rasulullah SAW.
“Katakanlah:
Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku:
“Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya”. (QS al-Kahfi/18: 110)
Syarat yang
pertama merupakan konsekuensi dari syahadat lâ ilâha illallâh, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad
Rasulullah s.a.w., karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti
syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
B. Hubungan Antara Aqidah,
Ibadah, Muamalah, dan Ahklak
Hubungan aqidah dengan akhlak
Aqidah merupakan suatu keyakinan hidup
yang dimiliki oleh manusia. Keyakinan hidup inidiperlukan manusia sebagai
pedoman hidup untuk mengarahkan tujuan hidupnya sebagai mahluk alam. Pedoman
hidup ini dijadikan pula sebagai pondasi dari seluruh bangunan aktifitas
manusia.
“Aqidah sebagai dasar pendidikan akhlak
“Dasar pendidikan akhlak bagi seorang muslim adalah aqidah yang benar terhadap
alam dan kehidupan, Karena akhlak tersarikan dari aqidah dan pancaran dirinya.
Oleh karena itu jika seorang beraqidah dengan benar, niscahya akhlaknya pun
akan benar, baik dan lurus. Begitu pula sebaliknya, jika aqidah salah maka
akhlaknya pun akan salah.
ilmu yang menjelaskan baik dan buruk,
menjelaskan yang seharusnya dilakukan manusia kepada yang lainya, yang disebut
dengan akhlak. Dengan akhlak yang baik seseorang akan bisa memperkuat aqidah
dan bisa menjalankan ibadah dengan baik dan benar. Ibadah yang dijalankan
dinilai baik apabila telah sesuai dengan muamalah. Muamalah bisa dijalankan
dengan baik apabila seseorang telah memiliki akhlak yang baik.
Aqidah seseorang akan benar dan lurus jika
kepercayaan dan keyakinanya terhadap alam juga lurus dan benar. Karena barang
siapa mengetahui sang pencipta dengan benar, niscahya ia akan dengan mudah
berperilaku baik sebagaimana perintah allah. Sehingga ia tidak mungkin menjauh
bahkan meninggalkan perilaku-perilaku yang telah ditetapkanya. Pendidikan akhlak
yang bersumber dari kaidah yang benar merupakan contoh perilaku yang harus
diikuti oleh manusia. Mereka harus mempraktikanya dalam kehidupan mereka,
karena hanya inilah yang menghantarkan mereka mendapatkan ridha allah dan atau
membawa mereka mendapatkan balasan kebaikan dari allah
Jujur merupakan salah satu sifat manusia
yang berhubungan dengan aqidah. Jujur dapat terwujud apabila seseorang telah
memegang konsep-konsep yang berhubungan dengan aqidah. Dengan dijalankanya
konsep-konsep aqidah tersebut maka seseorang akan memiliki akhlak yang baik.
Sehingga orang akan takut dalam melakukan perbuatan dosa.
Hubungan
aqidah dengan ibadah
Akidah menempati posisi terpenting dalam
ajaran agama Islam. Ibarat sebuah bangunan, maka perlu adanya pondasi yang kuat
yang mampu menopang bangunan tersebut sehingga bangunan tersebut bisa berdiri
dengan kokoh. Demikianlah urgensi akidah dalam Islam, Akidah seseorang
merupakan pondasi utama yang menopang bangunan keislaman pada diri orang
tersebut. Apabila pondasinya tidak kuat maka bangunan yang berdiri diatasnya
pun akan mudah dirobohkan.
Selanjutnya Ibadah yang merupakan bentuk
realisasi keimanan seseorang, tidak akan dinilai benar apabila dilakukan atas
dasar akidah yang salah. Hal ini tidak lain karena tingkat keimanan seseorang
adalah sangat bergantung pada kuat tidaknya serta benar salahnya akidah yang
diyakini orang tersebut. Sehingga dalam diri seorang muslim antara akidah,
keimanan serta amal ibadah mempunyai keterkaitan yang sangat kuat antara
ketiganya.
Muslim apabila akidahnya telah kokoh maka
keimanannya akan semakin kuat, sehingga dalam pelaksanaan praktek ibadah tidak
akan terjerumus pada praktek ibadah yang salah. Sebaliknya apabila akidah
seseorang telah melenceng maka dalam praktek ibadahnya pun akan salah kaprah,
yang demikian inilah akan mengakibatkan lemahnya keimanan.
Pondasi aktifitas manusia itu tidak
selamanya bisa tetap tegak berdiri, maka dibutuhkan adanya sarana untuk
memelihara pondasi yaitu ibadah. Ibadah merupakan bentuk pengabdian dari
seorang hamba kepada allah. Ibadah dilakukan dalam rangka mendekatkan diri
kepada allah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap allah.
Manusia sebagai makhluk yang paling
sempurna, sejak kelahirnya telah dibekali dengan akal pikiran serta perasaan
(hati). Manusia dengan akal pikiran dan hatinya tersebut dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang benar, dapat mempelajari bukti-bukti kekuasaan Allah,
sehingga dengannya dapat membawa diri mereka pada keyakinan akan
keberadaan-Nya. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak
mengakui keberadaan Allah SWT. karena selain kedua bekal yang dimiliki oleh
mereka sejak lahir, Allah juga telah memberikan petunjuk berupa ajaran agama
yang didalamnya berisikan tuntunan serta tujuan dari hidup mereka di dunia.
Ibadah
mempunyai hubungan yang erat dengan aqidah. Antaranya :
- Ibadah adalah hasil daripada aqidah yaitu keimanan terhadap Allah sebenarnya yang telah membawa manusia untuk beribadat kepada Allah swt.
- Aqidah adalah asas penerimaan ibadah yaitu tanpa aqidah perbuatan seseorang manusia bagaimana baik pun tidak akan diterima oleh Allah swt.
- Aqidah merupakan tenaga penggerak yang mendorong manusia melakukan ibadat serta menghadapi segala cabaran dan rintangan.
Akidah adalah
merupakan pondasi utama kehidupan keislaman seseorang. Apabila pondasi utamanya
kuat, maka bangunan keimanan yang terealisasikan dalam bentuk amal ibadah orang
tersebut pun akan kuat pula.
Amal ibadah
tidak akan bisa benar tanpa dilandasi akidah yang benar. amal ibadah dinilai
benar apabila dilakukan hanya untuk Allah semata dengan ittiba’ Rasul
SAW.
Manusia diberi
bekali akal pikiran agar dengan akal pikiran tersebut mereka dapat membedakan
mana yang hak dan mana yang batil, mempelajari tanda-tanda kekuasaan Allah,
menganalisa hakikat kehidupannya sehingga dia tahu arah dan tujuan dirinya
diciptakan di dunia. Akal pikiran dan perasaan inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk-makhluk lain. Oelh karena itu manusia dipercaya untuk menjadi khalifah
Allah di Bumi.
Hubungan
aqidah dengan muamalah
Pola pikir, tindakan dan
gagasan umat Islam hendaknya selalu bersendikan
pada aqidah
Islamiyah. Ungkapan “buah dari aqidah yang benar (Iman) tidak lain adalah amal
sholeh” harus menjadi spirit dan etos ummat Islam. Pribadi yang mengaku muslim
mestinya selalu menebar amal shalih sebagai implementasi
keimanannya di manapun mereka berada. Tidak kurang 60 ayat Al Qur’an
menerangkan korelasi antara keimanan yang benar dengan amal sholeh ini.
Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa perintah beriman kepada Allah dan hari
akhir selalu diikuti dengan perintah untuk melaksanakan amal shalih. Inilah
makna operatif dari ungkapan “al-Islamu
‘aqidatun wa jihaadun”, bahwa kebenaran Islam itu harus diyakini sekaligus
juga diperjuangkan pengamalannya secara sungguh-sungguh dalam konteks
kemaslahatan dan bebas dari perilaku teror.
Apabila aqidah telah dimiliki dan ibadah
telah dijalankan oleh manusia, maka kedua hal tersebut harus dijalankan dengan
sebaik-baiknya, oleh karena itu diperlukan adanya suatu peraturan yang mengatur
itu semua. Aturan itu disebut Muamalah. Muamalah adalah segala aturan islam yang
mengatur hubungan antar sesama manusia. Muamalah dikatakan berjalan baik
apabila telah memiliki dampak sosial yang baik. Untuk dapat mewujudkan aqidah
yang kuat yaitu dengan cara ibadah yang benar dan juga muamalah yang baik, maka
diperlukan suatu adanya
Aqidah adalah pondasi keber-Islaman yang
tak terpisahkan dari ajaran Islam yang lain: akhlaq,
ibadah dan Muamalat. Aqidah yang kuat akan mengantarkan ibadah yang benar,
akhlaq yang terpuji dan
muamalat yang membawa maslahat. Selain sebagai pondasi, hubungan antara aqidah
dengan pokok-pokok ajaran Islam yang lain bisa juga bersifat resiprokal dan
simbiosis. Artinya, ketaatan menuanaikan ibadah, berakhlaq karimah, dan
bermuamalah yang baik akan memelihara aqidah.
Dengan kata lain, ibadah adalah
pelembagaan aqidah dalam konteks hubungan antara makhkluq dengan Khaliq; akhlaq
merupakan buah dari aqidah dalam kehidupan yang etis dan egaliter; dan muamalah
sebagai implementasi aqidah dalam masyarakat yang bermartabahat dan menebar
maslahat. Karena itu, agar aqidah tumbuh dan berkembang, aqidah harus operatif
dan fungsional. Amal usaha atau unit pelayanan umat seperti Panti sosial dan
anak yatim, lembaga pendidikan dan pondok pesantren, balai pengobatan dan rumah
sakit, lembaga pengumpul dan penyalur zakat serta lembaga-lembaga sosial
keagamaan lainnya meminjam istilah M. Amin Abdullah, merupakan bentuk faith
in action, buah keimanan yang aktif dan salah satu bentuk penjelmaan
‘tauhid sosial’. Sayanya, tidak sedikit buah faith in action tersebut
yang terjebak pada berbagai kepentingan mulai dari ekonomi hingga politik.
Agar tetap kokoh dan kuat serta menjadi
penyangga seluruh sendi keber-Islaman, aqidah harus dijaga, dipelihara dan
dipupuk sehingga bisa hidup subur dalam pribadi setiap Muslim. Pentingnya
memelihara aqidah ini juga tersirat dalam Sirrah Nabawiyah. Saat
membangun masyarakat Islam di Makkah dan Madidah selama 23 tahun Rasulullah
Muhammad SAW tidak kenal lelah membina aqidah umatnya. Mengingat pentingnya
aqidah ini bisa dimengerti bila setiap surat dalam Al Quran mengandung
pokok-pokok ajaran keimanan.
sumber : http://lppkk-umpalangkaraya.blogspot.co.id
No comments:
Post a Comment